Guten
Abend Meine Freunde!
Panggil aja aku Rahayu. Umurku 16 tahun, aku sekolah di SMA
Tunas Harapan. Di umurku yang 16 tahun ini bisa dibilang masa-masa remaja.
Mulai timbullah sedikit demi sedikit perasaan suka dengan lawan jenis.Aku mau
cerita nih gimana perjalanan cintaku
Hari pertama setelah libur selama dua minggu. Matahari
tersenyum malu dibalik kapas di langit Tuhan. Aku tak kuasa untuk membuka mata
kembali, menikmati pancaran keajaiban Tuhan serta mencoba memulai langkah baru
hari ini. Tanpa ragu, aku melangkah ke sekolah. Aku dateng bersama dengan
seorang laki-laki yang belum pernah kulihat batang hidungnya sebelumnya.
Bel masuk sudah berbunyi dan aku segera memasuki kelas.
Seperti biasa kelas sudah ramai dengan siswa-siswi yang ingin menimba ilmu. Aku
melihat sosok laki-laki itu lagi, laki-laki yang belum pernah kulihat wajahnya
di sekolah ini. Dan dia duduk di sebelah bangku yang aku tempati, aku bingung
dan mulai sedikit heran. Perlahan aku mendekati tempat duduk ku dan segera
duduk karena guru pelajaran sudah datang.
Setelah beberapa menit aku dan dia hanya berdiam, akhirnya
dia memulai pembicaraan.
Dia :"Hai...."
Aku :"Hai Juga..."
Dia :"Kenalin nama aku Stephen, aku anak
pindahan dari Negeri Paman Sam"
Aku :"Nama aku Rahayu, oh pantas saja sebelumnya aku
belum pernah melihatmu"
Dia :"Iya, aku pindah mengikuti ayahku sekarang
beliau di tugaskan di Indonesia"
Aku :"Ohh begitu, semoga kamu senang bersekolah disini
dan senang bertemu denganmu"
Dia :"Iyaa, aku juga senang beretemu denganmu
semoga kita bisa jadi teman baik"
Stephen sosok laki-laki yang terlihat bijaksana dan
bertanggung jawab. Anak baru dari negeri Paman Sam. Senang berjumpa dengannya.
Dia sangat perhatian dan baik hati dengan ku. Walaupun kita belum kenal terlalu
lama, tapi kita sudah seperti seorang sahabat yang sudah bertemu
bertahun-tahun. Ada rasa nyaman ketika bersama dia, meski kadang-kadang kita
sering ribut. Dia orang yang selalu ngalah disaat kita sedang ribut-ributnya.
Aku bahagia? Ya, aku sangat bahagia aku tak pernah menyangka akan mendapatkan
teman baru seperti Stephen.
Tak terasa, tiga bulan sudah aku dan Stephen berada di
kelas yang sama. Tak ada yang beda diantara kita, masuk
sekolah-belajar-istirahat-belajar-pulang. Semua kita laluin dengan
bareng-bareng. Sampai seketika waktu tepat di tanggal ulang tahunku Stephen
membuat sebuah kejutan. Di malam itu juga Stephen menyatakan persaannya
Stephen : "Rah, ini ada hadiah buat kamu"
Aku : "Makasih ya, kamu udah buat
kejutan buat aku"
Stephen : "Iya sama-sama rah, coba deh kamu buka kado
dari aku"
Aku : "Iyaa, sebentar *Sambil
membuka kado*
Stephen : "Semoga kamu suka ya sama pemberian dari
aku"
Aku : "Iya aku pasti suka. Ya ampun
ternyata kamu ngasih aku miniatur piano ihh aku suka banget. Makasih banyak ya
stephen"
Stephen : "Iya sama-sama rah, oiya ada satu yang aku
pengen bicarain sama kamu"
Aku : "Kamu mau bicara apa?
Bicara saja"
Stephen : "Aku sayang sama kamu, aku ngerasa nyaman
dekat sama kamu"
Aku : "Aku juga ngerasa nyaman
dekat sama kamu"
Stephen : "Kamu adalah wanita pertama yang membuka
relung hatiku, apakah kamu mau menjadi pacarku?"
Aku : "Hah? Apa? Aku tidak salah
denger kan?"
Stephen : "Enggak, kamu ga salah dengar. Apakah kamu
mau?"
Aku : "Enggak"
Stephen : "Apa?Enggak?"
Aku : "Iya, enggak. Enggak mau
nolak maksudnya heheh"
Stephen : "Ihh kamu mah bikin panik. Oke sekarang kita
udah ada ikatan. I love you"
Aku : "I love you too"
Perjalanan cinta kita layaknya pasangan-pasangan yang lain,
kadang ribut, kadang baikan. Lama sudah kita menjalani masa pacaran ini, tak
ada yang beda. Dia tetap menyayangiku dengan setulus hati dan aku pun
sebaliknya.
Terkadang perbedaan memang anugerah untuk saling
melengkapi, hanya saja ada kalanya membunuh. Hal yang sangat menyakitkan. Aku
sendiri tengah mengalami kepahitan itu, terbunuh oleh perbedaan dimana
perbedaan itu tak akan pernah melebur. Laki-laki tampan itu membuatku
terjerumus dalam jeratnya. Dia mencintaiku, aku pun begitu. Sekali lagi,
perbedaan membatasi dinding kami hingga pada dasarnya aku menyadari bahwa kata
perbedaan tak pernah berubah menjadi pelengkap. Dia, Mario Stevano Aditya
dengan Haling sebagai marganya. Sudah jelas, dia terlahir dari darah kristiani
sedang aku seorang muslimah. Mengerti kan? Kami terbenteng oleh agama. Cinta
butuh perjuangan, lalu bagaimana kami berjuang melawan agama? Tak mungkin! itu
sama saja kami mempermainkan agama. Tidak boleh!
“Aku harus gimana rah?” laki-laki itu menatapku
sayu.
“Lupain aku,”ujarku pedih.
“Apa kita gak bisa bertahan?”tanya Stephen dengan
harapan.
“Jangan bodoh! Mana bisa kita bertahan atas nama
agama?”tukasku.
“Aku mohon.” Aku menghela nafas panjang lantas tak
sengaja menangkap salib yang tergantung manis di lehernya lalu melirik jilbab
putihku, semakin mempertegas kata ‘perbedaan’ antara kami.
“Tidak Stephen,”tegasku disertai gelengan pelan.
“Kita masih bisa berteman,”tambahku.
“Oke.” Stephen tersenyum paksa. Diam-diam aku
ikut lega mendengarnya.
Ketika cinta bersemi
Agama mulai berpetuah
Sampai daging mengikis tak tersisa
Tulang mulai terkeropos tiada salah
Bahkan hingga rapuh menjalar
Agama masih tetap berpedoman
Aku dan kamu tak mungkin menjadi kita
Hari sudah pagi saatnya Aku melakukan Rutinitasku sebagai seorang siswi. Pagi ini, aku datang sedikit agak pagi karena aku diantar oleh Ayahku yang ingin berangkat menuju kantornya. Sampai disekolah ternyata masih sepi hanya terlihat beberapa orang saja. Sambil menunggu bel berbunyi, aku membaca buku sekolah. Tak lama kemudian, kelas mulai di datangi oleh para penghuninya. Bell tanda masuk pun berbunyi. Semua berjalan seperti biasa tak ada halangan apapun. Waktu pulang pun tiba, bell tanda berakhirnya semua pelajaran berbunyi dengan nyaring. Anak-anak bergembira riang kelaur dari kelas mereka masing-masing
Aku berjalan menuju rumahku. Iya, rumahku berada di
dalam gang. Namun langkahku mendadak terhenti ketika melihat siapa yang sedang
berada di depanku sekarang, menghalangi jalanku dan sedikit membuatku tersentak.Stephen.
Ya, pemuda itu tersenyum manis kepadaku seperti biasanya.
“Kamu ngapain di sini?”tanyaku.
“Cuma pengen ketemu kamu.” Hatiku mencelos.
“Mau jalan-jalan?”tawarnya ketika melihatku tak
mampu menjawab.
“Aku harus pulang,”jawabku menolak ajakannya.
“Sebentar saja.” Aku menghela nafas panjang lantas
mengangguk pasrah. Aku tau, akan sulit menolaknya.
Kemudian aku dan Stephen berjalan menuju taman dekat
gang. Kami duduk di dekat pohon. Aku menatap jilbab putihku yang telah bernoda
sedang Stephen masih sibuk dalam lamunannya. Aku pun memilih diam, sambil
melirik lagi lehernya lalu menghela nafas panjang karena harus menangkap benda
itu lagi. Semakin sulit untukku melepasnya.
“Rah...” aku menoleh, tersadar dari pikiranku.
“Iya.”
“Masih inget gak? Dulu aku sama kamu sering banget
ke sini pulang sekolah,”ujarnya. Aku terdiam lantas mengangguk.
“Di tempat ini aku kasih tau kamu semunya tanpa satu
pun yang terlewatkan. Kita semakin dekat sampai kata ‘teman’ itu terasa malas
diucapkan, aku dan kamu punya rasa yang sama tapi hubungan kita masih sebatas
‘teman’. Hhh.... baru setelah lama banget kita jadian, aku kira setelah itu
kita akan terus sama-sama sampe aku dan kamu terkubur dalam liang lahat. Tapi
sekarang? ....” ucapan Stephen terputus.
“Sekarang semuanya seakan musnah seketika. Aku gak
bisa ngulang semuanya dari awal karena kamu menghentikan semuanya. Aku sadar,
di sini memang bukan kita pemeran utamanya.” Stephen terdiam lagi.
“Maaf..”lirihku.
“Apa aku boleh tanya sesuatu?” Aku hanya mengangguk
sambil menatapnya sendu.
“Alasan apa yang membuat kita berbeda?” aku tertegun
mendengar pertanyaan yang terlontar dari bibirnya. Ah,
“Jangan tanya itu Step! Aku nggak mau semakin berat
melepas kamu...” pelan namun pasti air mataku meleleh. Stephen segera
merengkuhku.
“Jangan pernah melepas aku Rah! Kita emang beda
agama, tapi apa salah kalo perasaan kita sama?” aku terus menangis, mengapa
jatuh cinta sesakit ini?
Mengapa kita berbeda?
Mengapa ada banyak agama di dunia jika Tuhan itu
memang hanya satu?
Mengapa sepasang cinta yang tulus tak bisa bersatu
hanya karena agama?
Bukankah engkau penuh kasih?
Akupun tak mau terjebak dalam masalalu, dan akupun
tak ingin menghadapi masa depan tanpamu.
Tuhan, apakah yang sudah dipersatukan oleh cinta
dapat dipisahkan oleh agama?
Jika memang Engkau mengatur jodoh tiap umat-umatMu,
mengapa harus kau atur dia ada di scenario hidupku, padahal kau tahu dia
berbeda.
Maafkan aku Tuhan
Sempat memberontak rencanaMu, berusaha mencocokkan
keinginan ku dengan RencanaMu yang Agung