Friday, November 7, 2014

Long Distance Religious

Long Distance Religious
Guten Abend Meine Freunde!


Panggil aja aku Rahayu. Umurku 16 tahun, aku sekolah di SMA Tunas Harapan. Di umurku yang 16 tahun ini bisa dibilang masa-masa remaja. Mulai timbullah sedikit demi sedikit perasaan suka dengan lawan jenis.Aku mau cerita nih gimana perjalanan cintaku

Hari pertama setelah libur selama dua minggu. Matahari tersenyum malu dibalik kapas di langit Tuhan. Aku tak kuasa untuk membuka mata kembali, menikmati pancaran keajaiban Tuhan serta mencoba memulai langkah baru hari ini. Tanpa ragu, aku melangkah ke sekolah. Aku dateng bersama dengan seorang laki-laki yang belum pernah kulihat batang hidungnya sebelumnya.

Bel masuk sudah berbunyi dan aku segera memasuki kelas. Seperti biasa kelas sudah ramai dengan siswa-siswi yang ingin menimba ilmu. Aku melihat sosok laki-laki itu lagi, laki-laki yang belum pernah kulihat wajahnya di sekolah ini. Dan dia duduk di sebelah bangku yang aku tempati, aku bingung dan mulai sedikit heran. Perlahan aku mendekati tempat duduk ku dan segera duduk karena guru pelajaran sudah datang. 

Setelah beberapa menit aku dan dia hanya berdiam, akhirnya dia memulai pembicaraan.

Dia  :"Hai...."
Aku :"Hai Juga..."
Dia  :"Kenalin nama aku Stephen, aku anak pindahan dari Negeri Paman Sam"
Aku :"Nama aku Rahayu, oh pantas saja sebelumnya aku belum pernah melihatmu"
Dia  :"Iya, aku pindah mengikuti ayahku sekarang beliau di tugaskan di Indonesia"
Aku :"Ohh begitu, semoga kamu senang bersekolah disini dan senang bertemu denganmu"
Dia  :"Iyaa, aku juga senang beretemu denganmu semoga kita bisa jadi teman baik"

Stephen sosok laki-laki yang terlihat bijaksana dan bertanggung jawab. Anak baru dari negeri Paman Sam. Senang berjumpa dengannya. Dia sangat perhatian dan baik hati dengan ku. Walaupun kita belum kenal terlalu lama, tapi kita sudah seperti seorang sahabat yang sudah bertemu bertahun-tahun. Ada rasa nyaman ketika bersama dia, meski kadang-kadang kita sering ribut. Dia orang yang selalu ngalah disaat kita sedang ribut-ributnya. Aku bahagia? Ya, aku sangat bahagia aku tak pernah menyangka akan mendapatkan teman baru seperti Stephen. 

Tak terasa, tiga bulan sudah aku dan Stephen berada di kelas yang sama. Tak ada yang beda diantara kita, masuk sekolah-belajar-istirahat-belajar-pulang. Semua kita laluin dengan bareng-bareng. Sampai seketika waktu tepat di tanggal ulang tahunku Stephen membuat sebuah kejutan. Di malam itu juga Stephen menyatakan persaannya

Stephen : "Rah, ini ada hadiah buat kamu"
Aku       : "Makasih ya, kamu udah buat kejutan buat aku"
Stephen : "Iya sama-sama rah, coba deh kamu buka kado dari aku"
Aku       : "Iyaa, sebentar *Sambil membuka kado*
Stephen : "Semoga kamu suka ya sama pemberian dari aku"
Aku     : "Iya aku pasti suka. Ya ampun ternyata kamu ngasih aku miniatur piano ihh aku suka banget. Makasih banyak ya stephen"
Stephen : "Iya sama-sama rah, oiya ada satu yang aku pengen bicarain sama kamu"
Aku       : "Kamu mau bicara apa? Bicara saja"
Stephen : "Aku sayang sama kamu, aku ngerasa nyaman dekat sama kamu"
Aku       : "Aku juga ngerasa nyaman dekat sama kamu"
Stephen : "Kamu adalah wanita pertama yang membuka relung hatiku, apakah kamu mau menjadi pacarku?"
Aku       : "Hah? Apa? Aku tidak salah denger kan?"
Stephen : "Enggak, kamu ga salah dengar. Apakah kamu mau?"
Aku       : "Enggak"
Stephen : "Apa?Enggak?"
Aku       : "Iya, enggak. Enggak mau nolak maksudnya heheh"
Stephen : "Ihh kamu mah bikin panik. Oke sekarang kita udah ada ikatan. I love you"
Aku       : "I love you too"

Perjalanan cinta kita layaknya pasangan-pasangan yang lain, kadang ribut, kadang baikan. Lama sudah kita menjalani masa pacaran ini, tak ada yang beda. Dia tetap menyayangiku dengan setulus hati dan aku pun sebaliknya. 

Terkadang perbedaan memang anugerah untuk saling melengkapi, hanya saja ada kalanya membunuh. Hal yang sangat menyakitkan. Aku sendiri tengah mengalami kepahitan itu, terbunuh oleh perbedaan dimana perbedaan itu tak akan pernah melebur. Laki-laki tampan itu membuatku terjerumus dalam jeratnya. Dia mencintaiku, aku pun begitu. Sekali lagi, perbedaan membatasi dinding kami hingga pada dasarnya aku menyadari bahwa kata perbedaan tak pernah berubah menjadi pelengkap. Dia, Mario Stevano Aditya dengan Haling sebagai marganya. Sudah jelas, dia terlahir dari darah kristiani sedang aku seorang muslimah. Mengerti kan? Kami terbenteng oleh agama. Cinta butuh perjuangan, lalu bagaimana kami berjuang melawan agama? Tak mungkin! itu sama saja kami mempermainkan agama. Tidak boleh!

“Aku harus gimana rah?” laki-laki itu menatapku sayu.
“Lupain aku,”ujarku pedih.
“Apa kita gak bisa bertahan?”tanya Stephen dengan harapan.
“Jangan bodoh! Mana bisa kita bertahan atas nama agama?”tukasku.
“Aku mohon.” Aku menghela nafas panjang lantas tak sengaja menangkap salib yang tergantung manis di lehernya lalu melirik jilbab putihku, semakin mempertegas kata ‘perbedaan’ antara kami.
“Tidak Stephen,”tegasku disertai  gelengan pelan.
“Kita masih bisa berteman,”tambahku.
 “Oke.” Stephen tersenyum paksa. Diam-diam aku ikut lega mendengarnya.

Ketika cinta bersemi
Agama mulai berpetuah
Sampai daging mengikis tak tersisa
Tulang mulai terkeropos tiada salah
Bahkan hingga rapuh menjalar
Agama masih tetap berpedoman

Aku dan kamu tak mungkin menjadi kita

Hari sudah pagi saatnya Aku melakukan Rutinitasku sebagai seorang siswi. Pagi ini, aku datang sedikit agak pagi karena aku diantar oleh Ayahku yang ingin berangkat menuju kantornya. Sampai disekolah ternyata masih sepi hanya terlihat beberapa orang saja. Sambil menunggu bel berbunyi, aku membaca buku sekolah. Tak lama kemudian, kelas mulai di datangi oleh para penghuninya. Bell tanda masuk pun berbunyi. Semua berjalan seperti biasa tak ada halangan apapun. Waktu pulang pun tiba, bell tanda berakhirnya semua pelajaran berbunyi dengan nyaring. Anak-anak bergembira riang kelaur dari kelas mereka masing-masing 

Aku berjalan menuju rumahku. Iya, rumahku berada di dalam gang. Namun langkahku mendadak terhenti ketika melihat siapa yang sedang berada di depanku sekarang, menghalangi jalanku dan sedikit membuatku tersentak.Stephen. Ya, pemuda itu tersenyum manis kepadaku seperti biasanya.

“Kamu ngapain di sini?”tanyaku.
“Cuma pengen ketemu kamu.” Hatiku mencelos.
“Mau jalan-jalan?”tawarnya ketika melihatku tak mampu menjawab.
“Aku harus pulang,”jawabku menolak ajakannya.
“Sebentar saja.” Aku menghela nafas panjang lantas mengangguk pasrah. Aku tau, akan sulit menolaknya.

Kemudian aku dan Stephen berjalan menuju taman dekat gang. Kami duduk di dekat pohon. Aku menatap jilbab putihku yang telah bernoda sedang Stephen masih sibuk dalam lamunannya. Aku pun memilih diam, sambil melirik lagi lehernya lalu menghela nafas panjang karena harus menangkap benda itu lagi. Semakin sulit untukku melepasnya.

“Rah...” aku menoleh, tersadar dari pikiranku.
“Iya.”
“Masih inget gak? Dulu aku sama kamu sering banget ke sini pulang sekolah,”ujarnya. Aku terdiam lantas mengangguk.
“Di tempat ini aku kasih tau kamu semunya tanpa satu pun yang terlewatkan. Kita semakin dekat sampai kata ‘teman’ itu terasa malas diucapkan, aku dan kamu punya rasa yang sama tapi hubungan kita masih sebatas ‘teman’. Hhh.... baru setelah lama banget kita jadian, aku kira setelah itu kita akan terus sama-sama sampe aku dan kamu terkubur dalam liang lahat. Tapi sekarang? ....” ucapan Stephen terputus.
“Sekarang semuanya seakan musnah seketika. Aku gak bisa ngulang semuanya dari awal karena kamu menghentikan semuanya. Aku sadar, di sini memang bukan kita pemeran utamanya.” Stephen terdiam lagi.
“Maaf..”lirihku.
“Apa aku boleh tanya sesuatu?” Aku hanya mengangguk sambil menatapnya sendu.
“Alasan apa yang membuat kita berbeda?” aku tertegun mendengar pertanyaan yang terlontar dari bibirnya. Ah,
“Jangan tanya itu Step! Aku nggak mau semakin berat melepas kamu...” pelan namun pasti air mataku meleleh. Stephen segera merengkuhku.
“Jangan pernah melepas aku Rah! Kita emang beda agama, tapi apa salah kalo perasaan kita sama?” aku terus menangis, mengapa jatuh cinta sesakit ini?

Mengapa kita berbeda?
Mengapa ada banyak agama di dunia jika Tuhan itu memang hanya satu?
Mengapa sepasang cinta yang tulus tak bisa bersatu hanya karena agama?
Bukankah engkau penuh kasih?

Akupun tak mau terjebak dalam masalalu, dan akupun tak ingin menghadapi masa depan tanpamu.
Tuhan, apakah yang sudah dipersatukan oleh cinta dapat dipisahkan oleh agama?
Jika memang Engkau mengatur jodoh tiap umat-umatMu, mengapa harus kau atur dia ada di scenario hidupku, padahal kau tahu dia berbeda.

Maafkan aku Tuhan
Sempat memberontak rencanaMu, berusaha mencocokkan keinginan ku dengan RencanaMu yang Agung